Rabu, 17 Juni 2020

Perkembangan Ancaman Sistem terkini


Pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa ancaman serangan siber di 2020 akan membawa masyarakat dunia pada level baru di mana para peretas akan memanfaatkan AI (Artificial Intelligance).

Menurutnya, perkembangan AI tidak hanya terjadi di industri dan dunia birokrasi. Para peretas juga mengembangkan AI untuk melahirkan malware dan ransomware yang mampu melakukan pembelajaran dan menambah peluang untuk berhasil melakukan satu serangan.

Dengan AI, malware, ransomware, virus, trojan terus akan berkembang dan mampu memperbaiki kelemahannya saat melakukan operasi.
Pratama juga memprediksi serangan malware akan jauh lebih besar dibandingkan dengan Data BSSN menunjukkan Januari - September 2019 ada 129 juta serangan pada 2020 mendatang.

Angka tersebut, lanjutnya, bisa jadi akan jauh lebih besar karena serangan tak semuanya terpantau dan dilaporkan korban.

Selain itu, netizen Tanah Air akan dipusingkan oleh serangan yang menyasar aplikasi populer. Tak hanya peretasan, Pratama menjelaskan aksi memanipulasi juga bisa dilakukan orang biasa tanpa kemampuan hacking. Contohnya dalam kasus akun GoPay Maia Estianti.

Dia menambahkan semakin banyak orang sadar celah keamanan tidak selalu soal sistem pada web, aplikasi dan jaringan, tetapi juga bisa juga dilakukan lewat korban yang minim pengetahuan IT. Dengan AI, malware, ransomware, virus, trojan terus akan berkembang dan mampu memperbaiki kelemahannya saat melakukan operasi.

“Perkembangan AI memang sangat menggembirakan, bahkan menjadi solusi di berbagai tempat. Namun, kita juga wajib antisipasi bahwa AI digunakan untuk mengembangkan perangkat serangan siber yang lebih canggih, sebuah parasit di wilayah siber yang bisa berpikir seperti manusia,” ujar Pratama dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis.com, Senin (30/12/2019).

Pratama juga memprediksi serangan malware akan jauh lebih besar dibandingkan dengan Data BSSN menunjukkan Januari - September 2019 ada 129 juta serangan pada 2020 mendatang.

Angka tersebut, lanjutnya, bisa jadi akan jauh lebih besar karena serangan tak semuanya terpantau dan dilaporkan korban.

Selain itu, netizen Tanah Air akan dipusingkan oleh serangan yang menyasar aplikasi populer. Tak hanya peretasan, Pratama menjelaskan aksi memanipulasi juga bisa dilakukan orang biasa tanpa kemampuan hacking. Contohnya dalam kasus akun GoPay Maia Estianti.

Dia menambahkan semakin banyak orang sadar celah keamanan tidak selalu soal sistem pada web, aplikasi dan jaringan, tetapi juga bisa juga dilakukan lewat korban yang minim pengetahuan IT.


Berikut beberapa solusi penangkal ancaman tersebut:



Solusi Keamanan Berbasis Artificial Intelligence dan Machine Learning


Menurut survei Cylance Blackberry, 75,2% profesional di bidang keamanan berencana untuk menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk pertahanan keamanan siber, 70,5% untuk pencegahan malware, dan 68,6% untuk pencegahan ancaman tingkat lanjut.

Teknologi AI dan Machine Learning (ML) sangat potensial digunakan untuk mengidentifikasi berbagai ancaman siber secara real-time.

Teknologi ini (AI dan ML) dapat mengumpulkan dan menganalisis data yang membantu organisasi mulai dari memprediksi hingga mengambil keputusan. Dengan begitu, organisasi pun dapat bertindak secara proaktif daripada secara reaktif terhadap sebuah ancaman siber.




Keamanan Cloud Terus Menjadi Perhatian Bagi Organisasi

Karena kini semakin banyak organisasi memigrasi beban kerja, aplikasi, dan data mereka ke cloud, keamanan cloud akan menjadi perhatian utama para petinggi IT di organisasi.

Berdasarkan survei, risiko terbesar terhadap keamanan cloud termasuk kesalahan konfigurasi pelanggan, salah kelola kredensial, atau pencurian yang dilakukan orang dalam.

Lalu, 64% profesional di bidang keamanan IT mengatakan bahwa kehilangan dan kebocoran data adalah perhatian utama mereka saat ini.

Sementara itu, penyedia layanan cloud kini juga terus mengembangkan layanan keamanan untuk melindungi berbagai platform cloud mereka.
Pada akhirnya, tergantung pada klien sendiri untuk mengamankan semua aplikasi dan datayang disimpan dalam lingkungan cloud.

Yang jelas, ke depannya akan semakin dibutuhkan edukasi yang lebih luas tentang perlindungan data di cloud.

"Cloud publik adalah pilihan yang aman dan layak untuk banyak organisasi. Tetapi, menjaganya (data) tetap aman adalah tanggung jawab bersama... Organisasi harus berinvestasi terhadap tim keamanan yang terampil dan tools (alat) yang tepat agar bisa mengimbangi laju perkembangan cloud yang cepat dan inovatif,“ kata Peter Firstbrook, Research Vice President Gartner, Gartner.




Munculnya Teknologi Otentikasi Generasi Selanjutnya

Kata sandi kini terasa kurang aman lantaran beberapa alasan. Pertama, teknologi canggih saat ini membuatnya mudah untuk diretas, bahkan untuk kata sandi yang rumit sekalipun.

Ini diperburuk oleh fakta bahwa masih banyak pengguna yang mempraktikkan kebiasaan penggunaan kata sandi yang buruk, misalnya seperti jarang/tidak pernah merubah kata sandi atau kata sandi digunakan di banyak akun.

Faktanya lebih dari 85% serangan siber adalah hasil dari orang-orang yang dibohongi dengan kata sandi mereka. Oleh karena itu, metode otentikasi multi-faktor dapat menjadi solusi dan ke depannya akan menjadi lebih umum diterapkan.

Metode ini sendiri mengharuskan pengguna untuk memberikan dua atau lebih kredensialuntuk memverifikasi identitas mereka agar bisa masuk ke dalam sebuah akun.

Lebih lanjut, pada 2019 lalu penggunaan kata sandi dan token mengalami penurunan sebesar 55% lantaran semakin banyak organisasi yang telah menggunakan teknologi keamanan biometrik.

Teknologi biometrik menawarkan alternatif yang lebih aman. Teknologi ini melibatkan identifikasi orang melalui karakteristik fisik atau perilaku unik mereka. Contohnya termasuk pengenalan wajah, suara, dan sidik jari.

0 komentar:

Posting Komentar